Polemik soal vonis pidana 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta, subsider tiga bulan kurungan yang menjerat Baiq Nuril, seorang guru honorer SMAN 7 Mataram NTB, tampaknya masih cukup panas.
Majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan bahwa Baiq Nuril melanggar UU ITE karena menyebarkan rekaman pembicaraannya dengan Kepala Sekolah SMA tempat dia mengabdi.
Hukuman tersebut dinilai tidak adil sehingga mengusik perhatian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) agar Presiden Jokowi memberikan amnesti (pengampunan) sebagai bentuk keadilan hukum untuk Baiq Nuril. Pasalnya, Baiq Nuril justru yang menjadi korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan atasannya, tetapi justru malah dipidana.
Presiden Jokowi dan Baiq Nuril. (wartakota.tribunnews.com)
Terkait kasus tersebut, Presiden Jokowi mengaku tidak bisa mengintervensi proses hukum yang sudah dijatuhkan MA. Namun, mantan Walikota Solo itu menyatakan dukungannya kepada Baiq Nuril untuk mencari keadilan dengan mengajukan PK ke MA. Seandainya nanti PK-nya masih belum mendapatkan keadilan, kata Jokowi, Baiq Nuril bisa mengajukan grasi ke presiden.
Namun, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memberikan reaksi yang cukup mengejutkan. Menurutnya, grasi tidak bisa ditempuh Baiq Nuril karena adanya syarat hukuman 2 tahun lebih. Jika ingin mendapatkan grasi, Mahfud punya saran.
Baiq Nuril dan Mahfud MD. (tribunnews.com)
"Hukumannya dinaikkan 2 tahun lebih karena kalau 6 bulan tidak bisa," kata Mahfud di acara Indonesia Lawyers Club, di tvOne, Selasa, 20 November 2018, seperti dikutip viva.co.id (20 November 2018).
Namun, Mahfud lebih berharap MA mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang bakal diajukan oleh tim kuasa hukum Baiq Nuril.
"Kita berdoa putusan MA yang menguntungkan, mengabulkan permohonan PK Baiq Nuril. Masa orang minta PK, hukumannya malah dinaikkan?" tegas Mahfud.
Selain itu, Mahfud mendorong agar pelaku pelecehan, mantan Kepala SMAN 7 Mataram, tidak boleh dibiarkan. Dia menegaskan perilaku yang bersangkutan sudah menodai Aparatur Sipil Negara.
Kasus yang menimpa Baiq Nuril ini memang menarik diikuti. Dia mengaku menjadi korban pelecehan seksual Kepala SMAN 7 Mataram, tetapi justru malah diputus bersalah lantaran diduga melanggar UU ITE.
Kasus ini seharusnya bisa menjadi yurisprudensi sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan apabila terjadi kasus serupa pada masa-masa mendatang. Namun, dengan dipidananya orang yang menjadi korban justru malah menimbulkan polemik berkepanjangan.
Merujuk pada pendapat Prof. Mahfud MD, tentu sangat diharapkan Majelis Hakim mengabulkan permohonan PK Baiq Nuril sehingga terbebas dari hukuman 6 bulan penjara. Mungkin hanya itu celah yang bisa ditembus. Menunggu grasi dengan syarat minimal divonis 2 tahun penjara justru menimbulkan ketidakpastian bagi terpidana.
Dalam konteks demikian, hati nurani hakim MA benar-benar diuji sebab hakikat hukum adalah kepastian dan keadilan. Jika PK ditolak, tentu Presiden Jokowi tidak bisa mengeluarkan grasi.
Baca Sumber